DALAM HUMANISME UMAT BERAGAMA
Penulis:
Drs.
Noor Fachruddin Achmad DN, M.S.I
PENDAHULUAN
A.
Kata
Pengantar
Indonesia
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia tentu memiliki Keragaman suku,
budaya, adat-istiadat, dan bahasa yang berbeda. Untuk itu diperlukan suatu
wadah yang mampu menampung semuanya. Para pendiri bangsa, menggunakan Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia.
Di dalam
Pancasila terdapat semboyan yang diambil dari kitab Sutasoma karya Mpu
Tantular, yaitu berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangroa” yang
artinya kurang lebih seperti ini: walaupun berbeda tetapi tetap dalam satu
tujuan, serta tidak boleh ada dharma (kewajiban) yang mendua. Untuk itu, jelas
Pancasila mampu mewadahi keragaman yang ada di Indonesia. Artinya tidak perlu
orang Islam kehilangan ke-Islam-annya, orang Kristen tidak perlu kehilangan
ke-Kristen-annya, orang Hindu tidak perlu kehilangan ke-Hindu-annya, orang
Budha tidak perlu kehilangan ke-Budha-anya, dan lain sebagianya. Identitas akan
dirinya masih dapat dimunculkan asal tetap dalam satu tujuan, tidak boleh ada
dharma yang mendua, atau pengkhianatan.
Dari sini dapat
kita lihat bahwa persoalan keberagaman bukanlah persoalan yang baru di
Indonesia, melainkan persoalan yang sudah ada sejak adanya agama-agama. Maka
disini perlu adanya penyikapan, yaitu sikap toleransi, sehingga dalam keberaman
ini bisa berjalan dengan baik, saling menghargai dan pada akhirnya tercipta
suasana yang humanis dalam kehidupan sehari-hari.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan toleransi?
2.
Bagaiman
Konsep toleransi menurut islam?
3.
Bagaiman
sikap humanisme orang muslim terhadap agama lain?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Toleransi
Toleransi dalam bahasa arab di sebut “tasamuh” yang berarti
kerelaan hati, kelapangan dada, rendah hati, pemurah dan mudah dalam
berhubungan sosial (mua’malah). Dalam kamus ilmiyah toleransi adalah sifat dan
sikap memahami dan atau pembiaran.[1]
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran”
(Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk
penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi,
toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada. Sedangkan
menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda dan atau yang bertentangan
dengan pendiriannya.[2]
B.
Konsep
Toleransi dalam Islam
Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam
secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi
Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal
lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan
untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi
dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia
dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin
disamakan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, “dan Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka
Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya?”[3]
Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini
adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah
Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku (saja).[4] Ayat
ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian
mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan
bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan
“sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.
Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya:
“Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik
pertemuan (kalimatun sawā atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa
kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada
apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain
sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!”[5]
Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam)
menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling
menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung
tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi,
ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat
beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.
C.
Sikap
Orang Muslim Terhadap Agama-Agama Lain
1.
Dalam
mempelajari agama-agama lain, seorang muslim tidak boleh meninggalkan sumber
kitab yang pokok yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan hanya merupakan sumber pokok
saja untuk menghampiri agama-agama lain, tetapi juga merupakan peraturan
yanglengkap tentang kepercayaan dan amal perbuatan orang. Hal ini perlu
diperingatkan karena ilmu perbandingan agama yang berusaha memahami
kepercayaan-kepercayaan dan agama-agama lain, di kawatirkan bahwa orang yang
melakukan itu menganggap bahwa Al-qur’an itu adalah sejajar dengan
literature-loteratur dan agama-agama lain. Bagi seorang muslim yang ingin
mendalami agama-agama lain hendaknya sadar bahwa Al-qur’an itulah sumber yang
paling utama disamping sumber-sumber lain. Hal ini disebabkan bukan hanya
karena seorang muslim yakin, bahwa Al-qur’an itulah yang memuat ajaran-ajaran
yang benar, tetapi juga kerana memang sebenarnya Al-qur’an itulah memuat
bahan-bahan yang sangat penting untuk memahami agama-agama lain.
2.
Al-qur’an
adalah sebuah kitab yang berada dalam sejarah kejadian tarachi yang
dibentangkan dalam Al-qur’an yang berabad-abad selama didustakan orang, kini
berangsur-angsur dapat dibuktikan oeleh penemuan-penemauan, dan ancaman-ancaman
dan janji-janji yang tersebut dalam Al-qur’an satu demi satu ayat yang tersurat
didalamnya dapat dibuktikan oleh kejadian-kejadian sejarah.
3.
Tidak
sedikit daripada literature-literatur agama-agama lain berada dalam social
vacuum, sedang ajaran-ajaran yang berada dalam Al-qur’an congruent dengan
tuntutan sosial. Lebih dari pada itu, dalam Al-qur’an pula terdapat sejarah
dari pada umat-umat yang terdahulu, yang karena perbuatan yang baik mendapatkan
kebahagiaan dan rahmat, dan sebaliknya karena amal perbuatannya yang jahat baik
terhadap dirinya sendiri, masyarakat maupun Tuhan maka akan mendapatkan mala
petaka yang mengerikan. Ini adalah merupakan timbangrasa dan tamsil ibarat bagi
mereka yang suka memahaminya.
4.
Al-qur’an
itulah sebuah kitab dimana orang dapat mendapatkan pertumbuhan monotheisme
ethis. Pembahasan dan pengertian Al-qur’an dengan segala seluk beluknya
merupakan syarat mutlak untuk mempelajari agama-agama lain. Oleh karena itu
disamping bahasa-bahasa yang asing yang diperlukan maka bahasa arab merupkan
syarat mutlak bagi seorang muslim yang ingin terjun dalam ilmu pengetahuan
agama.
5.
Adalah
menjadi tujuan bagi agama-agama dakwah, seperti agama hindu, budha, Kristen dan
islam untuk menyiarkan ajarannya di seantero ummat manusia. Bagi seorang muslim
dalam menghampiri agama-agama lain, hendaknya dengan jiwa penghargaan dan
simpatik. Hanya dengan cara yang sedemikian itulah orang akan memahami
nilai-nilai yang tinggi dari pada agama-agama lain.
6.
Adalah
suatu kesalahan besar bagi seorang muslim, bahwa dalam menghampiri agama-agama
lain itu, ia hanya mencari kelemahan-kelemahan agama-agama yang dihampiri itu.
Disamping orang mengetahui kelemahan pada system agama-agama lain, maka iapun
harus pandai-padai dan secara jujur mempelajari kekuatan-kekuatan dan
kebaikan-kebaikan dalam system agama-agama lain.
7.
Calon-calon
mubaligh muslim yang akan dikirimkan kedarah-daerah diberi pengetahuan tentang
kepercayaan-kepercayaan dan agama lain, terutama agama-agama yang hidup di
Indonesia. Ini adalah hal yang sangat baik sekali. Tetapi hal itu berubah tidak
baik manakala salah, kalau orang mempunyai anggapan bahwa pengetahuan tentang
agama-agama lian itu satu-satunya bekal untuk dakwah dan penyiaran agama islam,
apalagi dalam menghampiri agama-agama lain itu dengan semangat membenci dan
jiwa mendengki. Seperti dalam surat An-Nahl: 125 :
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.[6]
D.
Prinsip
Toleransi Terhadap Penganut Agama Lain
Ada beberapa prinsip yang tidak boleh diabaikan sedikitpun oleh
umat islam dalam bertoleransi dengan penganut agama lain yaitu :
1.
Kebenaran
itu hanya ada pada Islam dan selain Islam adalah bathil. Allah Ta'ala berfirman
dalam Qs.Al-Imran; 19 dan Al-Imran; 48:
Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah
Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di
antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka
Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
Artinya: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat
Termasuk orang-orang yang rugi.
2.
Kebenaran
yang telah diturunkan oleh Allah didunia ini adalah pasti dan tidak ada
keraguan sedikitpun kepadanya. Dan kebenaran itu hanya ada di agama Allah Ta'
ala. Allah Ta'ala berfirman dalam Al- baqarah;147
Artinya: kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan
sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang ragu.
3.
Kebenaran
Islam telah sempurna sehingga tidak bersandar kepada apapun yang selainnya
untuk kepastiaan kebenarannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam Qs.
Al-Maidah;3:
Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
4.
Yakin
bahwa derajat kaum mu’minin serta kemuliaannya dan kehormatannya lebih tinggi
daripada orang-orang kafir. Sebagaimana dalam Qs.Al-Imran: 139:
Artinya: Janganlah kamu
bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah
orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman.
5.
Kaum
muslimin dilarang ridho atau bahkan ikut serta dalam segala bentuk peribadatan
dan keyakinan orang-orang kafir dan musyrikin hal ini sebagaimana yang
dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam firmanNya dalam Qs. Al-Kafirun: 1-6:
Artinya:
1.
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,
2.
aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
3.
dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
4.
dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
5.
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
6.
untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
6.
Kaum
muslimin jangan lupa bahwa orang kafir dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin
menyimpan dihati mereka kebencian tradisional terhadap kaum muslimin, khususnya
bila kaum muslimin mengamalkan agamanya. Oleh karena itu kaum muslimin jangan
minder (merasa rendah diri) menampakkan prinsip agamanya diantara mereka dan
jangan sampai mempertimbangkan keterseinggungan perasaan orang-orang kafir
ketika menjalankan dan mengatakan prinsip agamanya. Demikian pula keadaan
orang-orang munafik (Ahlul Bid'ah) Firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah: 120:
Artinya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada
kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya
petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak
lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.
7.
Kaum
muslimin dilarang menyatakan kasih sayang dengan orang-orang kafir dan munafik
yang terang-terangan menyatakan kebenciannya kepada islam dan muslimin. Allah
berfirman Qs.Al-Mujadillah;22:
Artinya:kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan
hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau
saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan
yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap
mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah
golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan
yang beruntung.[7]
BAB III
KESIMPULAN
Toleransi dalam Islam adalah benar, asli, murni dan dapat di
percaya. Artinya sifat toleransi sangat dianjurkan oleh agama. Namun, toleransi
beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan
pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang
berbeda itu. Toleransi di sini hanyalah persoalan implementasi dan komitmen
untuk mempraktikkannya secara konsisten dalam pengertian mu’amalah (interaksi
sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar.
Terutama dalam konsep prinsip ke-Tuhanan. Inilah esensi toleransi di mana
masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling
menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun
hak-haknya.
Perlu di ingat dalam bertoleransi, umat islam tidaklah harus lepas
dengan siar agama. Siar agama senantiasa harus tetap dilakukan. Karena itu
sudah menjadi kewajiban bagi umat islam di seantero dunia ini untuk
melakukannya. Perlu di ingat pula, dalam melakukan siar agama, ada hal penting
yang perlurenungan mendalam agar tercapai keberhasilan siar. Hal tersebut
adalah: mengutip tulisan Dr.Mukti Ali” bahwa keberhasilan siar agama
tidaklah tergantung pada baik buruknya ajaran yang di bawa oleh agama itu,
tetapi tergantung pada kesanggupan para penyiarnya. Mampukah para penyiar agama
islam saat ini untuk membikin masyarakat memerlukan, membutuhkan dan gandrung
pada agama yang mereka bawa yaitu agama islam. Apakah ini problem agama
islam dewasa ini atau apakah ini sudah terjawabkan pada dewasa ini.
Tindakan
kitalah yang menjadi jawabannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Karim
Binsar
A. Hutabarat, Kebebasan Beragama VS Toleransi Beragama, www.google.com
Mukti,
Ahmad Ali, Ilmu Perbandingan Agama :Sebuah Pemahaman Tentang Methodos Dan
Sistima, (Yogyakarta:NIDA, Cetakan ke-empat, 1975)
Pius Partanto & M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,
(Surabaya: ARKOLA, 1994).
[1]
Pius Partanto & M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
ARKOLA, 1994).
[2]
Binsar A. Hutabarat, Kebebasan Beragama VS Toleransi Beragama, www.google.com
[3] Al-Qur’an
Al-Karim
[4] Al-Qur’an
Al-Karim
[5]
Al-Qur’an Al-Karim
[6] Dr.
Ahmad Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama :Sebuah Pemahaman Tentang Methodos
Dan Sistima, (Yogyakarta:NIDA, Cetakan ke-empat, 1975), Hlm 32-35.
[7] Al-Qur’an Al-Karim
lengkap sekali..apa pendidikan selanjutnya? :)
BalasHapus